ARIF MUSTOFA

Sabtu, 17 Desember 2011

tentang daerah

Batik Tanjung Bumi Madura? Hampir dapat dipastikan, semua kalangan mengenalnya. Kalau searching pakai Google, misalnya, tercatat 119 ribu rekaman yang berkaitan dengan Batik Tanjung Bumi Madura. Seakan Batik Madura identik dengan Tanjung Bumi. Membahana hingga ke mancanegara.
Namun kalau Anda berkunjung ke Desa Tanjung Bumi Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan Madura, sektar 41 km dari kota Bangkalan, jangan kaget. Jangan pula membayangkan bahwa daerah Tanjung Bumi mirip dengan Sentra Tas di Desa Tanggul Angin Sidoarjo. Atau, sentra-sentra industri kecil lain yang sudah terkemuka di daerah lain. Kalau Anda datang ke sana dan tanpa bertanya, Anda akan mengambil kesimpulan bahwa di Desa Tanjung Bumi itu bukan desa batik. Sepintas tidak nampak seorangpun pengrajin batik. Tidak ada tanda-tanda apapun yang nampak secara kasat mata, mengingat aktivitas pembuatan batik dilakukan di dalam rumah. Tulisan yang biasanya terpampang pada gapuro dengan menyebut “Selamat Datang di Kampung Batik Tanjung Bumi”, juga tidak tampak. Begitu pula dengan outlet-outlet khusus berderet (seperti di Tanggulangin, misalnya), setali tiga uang. Sama-sama tidak ada. “Memang itu salah satu kelemahan. Di Desa sini belum ada paguyuban batik. Atau koperasi baik. Apalagi gapuro Kampung Batik” kata Ahmadi, salah satu pengrajin dan pengelola batik Tanjung Bumi yang mempekerjakan karyawan lebih dari 70 orang. Namun, kalau Anda turun dari mobil. Dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sekaligus menikmati suasana salah satu bibir pantai Madura itu, perlahan-lahan Anda akan merasakan bau yang khas. Bau malam yang terbakar. Sekaligus itu penanda bahwa di rumah dekat Anda berjalan, ada pengrajin batik. “Namun kalau Anda pergi ke sini hari Sabtu atau Minggu, desa ini akan kelihatan sekali kalau desa batik” kata Misrawi. Kenapa? Karena saat itu, di hampir semua rumah, tiap-tiap batik hasil karya rumahan dipajang di tempat jemuran baju. Dan biasanya pada hari itu pula banyak pedagang luar kota datang. Membeli dan memborong batik. Serta menjual lagi ke end user (ditempat lain) dengan harga lebih tinggi, sudah barang tentu. “Di Desa Tanjung Bumi ada 60 kelompok pengrajin batik. Kerjanya ya seperti itu. Tidak terlalu terlihat dari luar” jelas Misrawi. Menurut Misrawi, kenapa masyarakat Tanjung Bumi mengerjakan di dalam rumah, ternyata tidak lepas dari sejarah kelahiran batik di Madura. Konon, keterlibatan perempuan-perempuan di Tanjung Bumi pada proses membatik dikarenakan menunggu kedatangan sang suami, yang sebagian besar bermatapencarian sebagai nelayan. Dan kalau sudah pergi menangkap ikan, mereka bisa pergi berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Bagi perempuan Tanjungbumi, menunggu kedatangan suami merupakan saat-saat paling panjang dan menegangkan. Mereka selalu gelisah apakah suaminya bisa pulang kembali dengan selamat dan bisa membawa uang untuk biaya rumah tangga. Untuk mengurangi rasa gelisah tersebut, akhirnya mereka mulai belajar membatik. Namun, hingga kini belum ada yang dapat memastikan kapan para istri itu mulai membatik. Begitu waktu berjalan, ternyata pengrajin batik tidak hanya tinggal di Tanjung Bumi. Melainkan menyebar hingga ke desa Telaga Biru, Paseseh, Bumi Anyar, Larangan, Tambak Pocok, Bandang, Macajeh, Tlangoh, Tagungguk dan Bangkeng. Total pengrajin dan pengelolahnya mencapai ribuan orang. Menurut Ahmadi, corak batik Tanjungbumi mempunyai ciri khas batik pesisir. Corak bebas dengan warna-warna berani. Serta, ada cecek (titik-titik). Proses pembuatannya? Ada yang menggunakan cap, tulis, dan gentongan. Disebut gentongan, karena untuk proses pewarnaannya dimasukkan dalam gentong. Uniknya, warna yang dipakai pada gentongan bukan warna kimia. Tapi warna alami yang mengambil dari daun-daun atau akar-akaran tumbuh-tumbuhan. “Untuk gentongan, penyelesaiannya bisa lebih dari 1 bulan. Sehingga harganyapun mahal. Ada yang lebih dari Rp. 3 juta per potong (2 meter). Sedangkan batik tulis pada kisaran Rp. 75 ribu – 500 ribu per potong” jelas Ahmadi. Menurut Ahmadi, kebanyakan masyarakat Tanjung Bumi belum memiliki jaringan pemasaran kuat. Model penjualan yang sering digunakan biasanya pembeli datang. Masyarakat menjual. Belum ada yang memiliki show room khusus misalnya di Surabaya. Jadi, kalau ada batik Tanjung Bumi sampai ke negara lain, penyebabnya karena dipasarkan oleh orang lain. Atau, pengrajin Tanjung Bumi ikut pameran. Peran kecamatan atau kabupaten dalam penumbuhkembangan pemasaran Batik Madura dinilainya belum optimal. “Begitu juga dengan yang tadi. Gapuro. Berapa sih biaya membuat gapuro Kampung Batik?” Ahmadi berargumen. “Pun demikian dari sisi permodalan. Belum ada insentif apapun. Saya kadang iri dengan kabupaten lain, yang diberi subsidi bunga sampai 6%” tambah Ahmadi. Terlepas dari kelemahan itu, Ahmadi juga mengucap syukur dengan adanya pemerintah. Setidaknya pada 2010 kemarin, ayah 2 orang anak ini diajak pameran ke Hongkong oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Bangkalan. “Ini yang positif. Dan seharusnya digalakkan. Karena dari situ biasanya produksi dan pemasaran kita terus meningkat” kata Ahmadi. Ahmadi berharap pemerintah konsisten berkaitan dengan menumbuhkembangan industri batik. Tidak hanya melarang penggunaan batik dari Cina. Lebih dari itu, seharusnya tidak pula mengimpor mesin dari Cina untuk memproduksi batik printing. “Coba bayangkan, kalau makai mesin. Dengan 10 orang pekerja bisa memproduksi ribuan potong per hari. Kalau kita, yang tradisional, perlu waktu panjang. 1 potong batik tulis bisa memakan waktu minimal 1 minggu” jelas Ahmadi. Dampak selanjutnya, jika produksi printing tetap diteruskan (lebih-lebih pasar menginginkan harga murah tanpa mau tahu proses yang terjadi di dalam), akan terjadi banyak pengangguran. Tidak hanya di industri batik sendiri, Tapi juga akan menggandeng penambahan pengangguran di sektor pendukungnya. “Seperti malam, misalnya. Printing kan sudah tidak perlu malam lagi” kata Ahmadi. Komentar Dikirim oleh: FITRIA RAMADANI PUTRI (BANGKALAN), Tanggal: 2011-07-20 SAYA BANGGA MENJADI WARGA MADURA YG BEGITU TERKENAL DENGAN BATIKNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar